Pertanyaan tentang asal-usul, menarik seorang anak Indonesia menggeluti disiplin ilmu pengetahuan paling tua dan semakin langka di dunia. Tri L. Astraatmadja kini menjadi Astronom di Max-Planck, Jerman.
Ada masa ketika Tri L. Astraatmadja menggeluti dua “panggilan“ sekaligus: belajar Astronomi dan aktif dalam gerakan mahasiswa di awal transisi demokrasi, tak lama setelah Orde Baru tumbang.
Ia adalah salah satu pimpinan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) organisasi mahasiswa berhaluan Kiri. Demonstrasi dan rapat-rapat di Jakarta membuat ia telat menyelesaikan gelar sarjana di Institut Teknologi Bandung (ITB). Kini, Tri tercatat sebagai satu diantara sangat sedikit orang Indonesia yang menekuni Astronomi. Ia meraih gelar Doktor di kampus bergengsi Leiden Institute of Physics di Belanda yang dikenal punya reputasi cemerlang dalam cabang ilmu paling tua di dunia tersebut.
Sejak setahun yang lalu, Tri melanjutkan program post doktoral di Max-Planck-Institut für Astronomie (MPIA) di Heidelberg, Jerman, yang merupakan salah satu lembaga terpenting dalam bidang Astronomi di Eropa. Di tempat ini, ia terlibat dalam proyek Gaia, sebuah misi ruang angkasa yang menyelidiki satu milyar bintang di langit. “Sejak dulu saya tertarik untuk mengetahui bagaimana hal-hal bekerja,” kata Tri membuka percakapan dengan Deutsche Welle.
Tri L. Astraatmadja terlibat dalam proyek Gaia di Eropa yang meneliti satu milyar bintang di angkasa. Tri L. Astraatmadja terlibat dalam proyek Gaia di Eropa yang meneliti satu milyar bintang di angkasa. DW: Kenapa anda tertarik Astronomi? Tri L. Astraatmadja: Ketika kecil selama 16 minggu saya melihat pertunjukan di planetarium Taman Ismail Marzuki (TIM). Saya juga menonton “Cosmos” dari Carl Sagan. Sejak itu saya melihat bahwa Astronomi tidak hanya melihat ke luar sana tapi juga melihat ke dalam diri, jadi astronomi adalah bagian dari tradisi kemanusiaan untuk mencari asal usul.
Ilmu Astronomi pada dasarnya adalah arkeologi, ilmu sejarah, karena kita mengamati cahaya dari obyek-obyek yang sangat jauh. Nah karena cahaya membutuhkan waktu untuk mencapai kita, maka informasi yang kita peroleh adalah informasi dari masa lampau. Astronomi membuat kita bisa melihat sejarah tentang bagaimana galaksi tercipta dan kondisi semesta di masa lalu.
Jadi seperti menggali sebuah reruntuhan dan mencoba untuk mengetahui apa yang dulu terjadi. Sekarang Astronomi sudah bisa mengamati radiasi yang dipancarkan beberapa ratus ribu tahun setelah big bang (dentuman besar-red.) atau pada periode awal munculnya alam semesta. DW: Apa isi disertasi anda? Tri L. Astraatmadja: Tentang usaha mencari partikel energi tinggi dari ruang angkasa yakni sinar gamma. Ini semacam radiasi tinggi yang dipancarkan oleh ledakan bintang.
Jadi ketika bintang kehabisan bahan bakarnya, dia bisa meledak menjadi Supernova dan melontarkan sebagian besar materi ke segala arah, termasuk radiasi. Nah radiasi ini yang ingin saya tangkap dengan menggunakan alat yang baru dibuat ketika saya memulai disertasi yaitu Teleskop Neutrino. Jadi penelitian saya adalah bagaimana menggunakan teleskop itu untuk mendeteksi sinar gamma. Temuan itu memberi perspektif baru: pandangan pure knowledge untuk memahami proses-proses apa yang terjadi dalam sebuah ledakan bintang, bagaimana sinar gamma diproduksi.
Ini penting misalnya untuk memahami bagaimana fisika dalam level paling fundamental bekerja, untuk mengetahui hukum-hukum dasar yang menggarisbawahi cara kerja alam semesta. DW: Apa proyek yang sedang anda kerjakan di Max-Planck? Tri L. Astraatmadja: Saya mendesain software dengan menggunakan metode statistik, lebih tepatnya machine learning untuk mengetahui temperatur, gravitasi dan kandungan kimia dari sekitar satu milyar bintang, berdasarkan cahaya yang kita ukur dari bintang tersebut melalui satelit yang akan diluncurkan November tahun ini.
Sumber:
http://www.dw.de/astronom-kiri-tentang-tuhan-dan-sains/a-17102277
Ia adalah salah satu pimpinan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) organisasi mahasiswa berhaluan Kiri. Demonstrasi dan rapat-rapat di Jakarta membuat ia telat menyelesaikan gelar sarjana di Institut Teknologi Bandung (ITB). Kini, Tri tercatat sebagai satu diantara sangat sedikit orang Indonesia yang menekuni Astronomi. Ia meraih gelar Doktor di kampus bergengsi Leiden Institute of Physics di Belanda yang dikenal punya reputasi cemerlang dalam cabang ilmu paling tua di dunia tersebut.
Sejak setahun yang lalu, Tri melanjutkan program post doktoral di Max-Planck-Institut für Astronomie (MPIA) di Heidelberg, Jerman, yang merupakan salah satu lembaga terpenting dalam bidang Astronomi di Eropa. Di tempat ini, ia terlibat dalam proyek Gaia, sebuah misi ruang angkasa yang menyelidiki satu milyar bintang di langit. “Sejak dulu saya tertarik untuk mengetahui bagaimana hal-hal bekerja,” kata Tri membuka percakapan dengan Deutsche Welle.
Tri L. Astraatmadja terlibat dalam proyek Gaia di Eropa yang meneliti satu milyar bintang di angkasa. Tri L. Astraatmadja terlibat dalam proyek Gaia di Eropa yang meneliti satu milyar bintang di angkasa. DW: Kenapa anda tertarik Astronomi? Tri L. Astraatmadja: Ketika kecil selama 16 minggu saya melihat pertunjukan di planetarium Taman Ismail Marzuki (TIM). Saya juga menonton “Cosmos” dari Carl Sagan. Sejak itu saya melihat bahwa Astronomi tidak hanya melihat ke luar sana tapi juga melihat ke dalam diri, jadi astronomi adalah bagian dari tradisi kemanusiaan untuk mencari asal usul.
Ilmu Astronomi pada dasarnya adalah arkeologi, ilmu sejarah, karena kita mengamati cahaya dari obyek-obyek yang sangat jauh. Nah karena cahaya membutuhkan waktu untuk mencapai kita, maka informasi yang kita peroleh adalah informasi dari masa lampau. Astronomi membuat kita bisa melihat sejarah tentang bagaimana galaksi tercipta dan kondisi semesta di masa lalu.
Jadi seperti menggali sebuah reruntuhan dan mencoba untuk mengetahui apa yang dulu terjadi. Sekarang Astronomi sudah bisa mengamati radiasi yang dipancarkan beberapa ratus ribu tahun setelah big bang (dentuman besar-red.) atau pada periode awal munculnya alam semesta. DW: Apa isi disertasi anda? Tri L. Astraatmadja: Tentang usaha mencari partikel energi tinggi dari ruang angkasa yakni sinar gamma. Ini semacam radiasi tinggi yang dipancarkan oleh ledakan bintang.
Jadi ketika bintang kehabisan bahan bakarnya, dia bisa meledak menjadi Supernova dan melontarkan sebagian besar materi ke segala arah, termasuk radiasi. Nah radiasi ini yang ingin saya tangkap dengan menggunakan alat yang baru dibuat ketika saya memulai disertasi yaitu Teleskop Neutrino. Jadi penelitian saya adalah bagaimana menggunakan teleskop itu untuk mendeteksi sinar gamma. Temuan itu memberi perspektif baru: pandangan pure knowledge untuk memahami proses-proses apa yang terjadi dalam sebuah ledakan bintang, bagaimana sinar gamma diproduksi.
Ini penting misalnya untuk memahami bagaimana fisika dalam level paling fundamental bekerja, untuk mengetahui hukum-hukum dasar yang menggarisbawahi cara kerja alam semesta. DW: Apa proyek yang sedang anda kerjakan di Max-Planck? Tri L. Astraatmadja: Saya mendesain software dengan menggunakan metode statistik, lebih tepatnya machine learning untuk mengetahui temperatur, gravitasi dan kandungan kimia dari sekitar satu milyar bintang, berdasarkan cahaya yang kita ukur dari bintang tersebut melalui satelit yang akan diluncurkan November tahun ini.
Sumber:
http://www.dw.de/astronom-kiri-tentang-tuhan-dan-sains/a-17102277